Kamis, 02 Mei 2013

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (Part 1)


Assalamualaikum wr wb

Pada kesempatan ini saya berbagi artikel yang telah saya baca mengenai sejarah peradaban islam masa Abu Bakar Ash Shiddiq. Semoga bermanfaat


  1. Biografi Abu Bakar
Abu Bakar dilahirkan dengan nama Abdullah ibn Abi Qahafah dari seorang ayah bernama Abu Qahafah yang semula bernama Utsman ibn Amir.
Sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair yang semula bernama Salma Binti Sakhr ibn Amir. Sebelum ia memeluk Islam , Ia mendapat julukan dengan nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam, ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas). Asal mula julukan namanya sebagai Abdul Ka’bah berawal dari kenyataan bahwa ibunya setiap melahirkan anak lelaki, pasti meninggal dunia.Begitu Abu Bakar lahir dan dikaruniai kehidupan, orang tuanya sangat gembira.Serta merta dijulukinya anak lelaki mereka dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ketika anak itu tumbuh menjadi remaja, namanya bertambah dengan julukan Atik yang menandakan seolah-olah ia lepas dari kematian. Tetapi menurut para Ahli Sejarah, “Atik”, bukanlah nama baginya, melainkan sekedar julukan karena kulitnya yang putih bersih. Di dalam riwayat lainnya, dikisahkan bahwa Aisyah putrinya pernah ditanya mengapa ayahnya diberi nama Atik. Aisyah lalu menceritakan bahwa pada suatu saat Rasulullah pernah melihat kepada Abu Bakar sambil berkata: “Inilah Atik Allah dari api neraka”. Dalam kesempatan lainnya, Abu Bakar ember kehadapan Rasulullah SAW bersama para sahabat lainnya Begitu melihat Abu Bakar, beliau berkata: ”Barang siapa orang yang senang melihat kepada orang yang lolos (Atik) dari api neraka, maka lihatlah kepadanya (Abu Bakar)[1]”.

Sejak kecil Abu Bakar hidup seperti layaknya anak-anak lainnya di kota Mekah. Tatkala usianya menginjak masa dewasa, dia berdagang sebagai penjual kain.Sebagai seorang pedagang kain, Abu Bakar sangat berhasil dalam usahanya. Pada awal mudanya ia menikah dengan Kutailah binti Abdul Uza. Perkawinan ini membuahkan ketirunan Abdullah dan Asma.Kelak setelah masuk Islam.Dan perkawinannya dengan Ummu Ruman binti Uwaimir, Abu Bakar memperoleh dua orang anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah.Ketika berada di Madinah, Abu Bakar dengan Habibah binti Kharijah serta Asma Binti Umais.Dari istrinya yang terakhir ini, Abu Bakar dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad.Tidak hanya itu, dagangan Abu Bakar pun sangat maju dan memperoleh keuntungan sangat besar.Keberhasilan usaha dagangnya, barangkali di sebabkan oleh kepribadian dan akhlaknya yang mulia, sehingga sangat disenangi orang.Abu Bakr ash-Shiddiq(lahir: 572 – wafat: 23 Agustus634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam.

 Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama Khulafaur Rasyidin pada tahun 632.Ia bernama asli Abdullah bin Abi Quhafah. Abu Bakar dilahirkan di Mekkah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraish. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang emb menafsirkan mimpi. Abu Bakar ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW.Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya ‘yang berkata benar’), sehingga ia lebih dikenal dengan nama ‘”Abu Bakar ash-Shiddiq”Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah ibn ‘Uthman ibn Amir ibn Amru ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr al-Quraishi at-Tamimi’. Bertemu nasabnya dengan nabi SAW pada kakeknya Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai. Dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah bani Taim. Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Muhammad saw. Pindah dan hidup dengannya.Pada saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar.Sama seperti rumah Khadijah, rumahnya juga bertingkat dua dan mewah. Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli berdagang[2].

Politik islam memang berbeda dengan system politik lainnya. Satu perkara yang paling penting dalam politik islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun kepala Negara, melainkan ditangan syara’.Hanya saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahi itu tidak monopoli oleh kepala Negara (khalifa) dan tidak manipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan kelemahan islam, malah justru memperkuatnya.
Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan syariat islam. Control pelaksanaan dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Sepakatlah semua pemikir muslim bahwa madinah adalah islam yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah makkah ke madinah adalah memimpin masyarakat islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala islam madinah.

Landasan politik di masa Rasulullah langkah-langkahnya adalah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai beberapa bukti disebut, di antaranya  Bai’at Aqabah.

Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku khajraz di yathrib bertemu dengan Rasulullah di Aqabah, mina. Mereka untuk berhaji sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk islam. Dan mereka berjanji aksan mengajak penduduk yathrib menemui nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at) kepada nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak menghianati nabi. Inilah bai’at pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebayak tujuh puluh lima penduduk yathrib yang sudah masuk islam berkunjung ke makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Ditempat itu mengucapkan bai’at  juga, yang isinya sama dengan bai’at  yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji akan membela nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at ini dikenal dengan bai’at Aqabah kedua.

Kedua bai’at  ini menurut munawir sadjali (islam dan tata Negara, 1993 ) merupakan batu pertama bangunan islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya islam yang pertama di madinah, atas dasar bai’at ini pula Rasulllah meminta para sahabat untuk hijrah ke yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut hijrah bergabung dengan mereka.



Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang di kenal dengan piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang di anggap sebagai konstitusi 5ember tertulis pertama di dunia.Piagam Madinah ini adalah konstitusi 5ember yang berasaskan islam dan di susun sesuai dengan syariat islam.

Karakter kepemimpinan Kekhalifahan islam ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimipin islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat islam dan bukan kekuasaan yang mutlak yang memeberi. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi: “it (sovereignty) is a trust, and on the Day of judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did will.


Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat sumber dan mutlak.Peranan seorang Khalifa telah ditulis dalam banyak sekali teologi islam. Imam Najm al-din al-nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:

“umat islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin meraka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, mempekuat angatan bersenjata (untuk pertahanan 6ember), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jum’at (shalat jum’at) dan hari raya, menghilangkan perselisihan diantara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memili wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara didepan orang yang pimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya. Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk untuk bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif. Ibnu khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhalifahan secara lebih singkat:

“kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran islam dan menyeimbangkan kewajiban didunia dan diakhirat.(kewajiban didunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (kekhalifaan) pada kenyataannya menggantikan nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menajalankan kekuasaan polotik didunia.”

Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa baiat pertama yaitu ‘baiat Saqifah.Oleh karena pada baiat pertama ini, hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh tertentu saja, maka pada hari berikutnya di masjid al-Nabawi diadakan baiat untuk kedua kalinya, yang disebut ‘al-Baih al-Ammah’.Pada baiat kedua di masjid al-Nabawi inilah Abu Bakar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya yang sekaligus menggambarkan jalan politik yang ditempuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar