Penulis Al-Ustadz Mustamin
Musaruddin
PERTANYAAN
Pada bulan-bulan tertentu seperti
Rajab, Sya’ban, dan Syawal, sering terlihat orang-orang ramai melakukan ziarah
kubur, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda dan sebagian mereka
membawa air dan kembang untuk ditaburkan ke kuburan yang diziarahi. Fenomena
ini mengundang pertanyaan di benak saya tentang beberapa hal yaitu:
•
Apa hukumnya berziarah kubur?
•
Apakah ada waktu-waktu khusus dan
hari-hari tertentu yang afdhal untuk berziarah?
•
Apakah ziarah kubur itu mempunyai
manfaat?
•
Bagaimana sebenarnya tata cara
berziarah kubur yang syar’i?
•
Apakah ada hal-hal yang terlarang
sehubungan dengan ziarah kubur tersebut?
JAWABAN PERTAMA : Hukum Ziarah Kubur
Berziarah
kubur adalah sesuatu hal yang disyariatkan dalam agama berdasarkan (dengan
dalil) hadits-hadits Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam dan ijma’.
Dalil-dalil
dari hadits Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam tentang disyariatkannya ziarah kubur di
antaranya:
Pertama , hadits Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallâhu ‘anhu dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam beliau
bersabda,
إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
”Sesungguhnya aku pernah melarang
kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam
Muslim (3/65 dan 6/82) dan Imam Abu Dâud (2/72 dan 131) dengan tambahan lafazh,
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
“Sebab ziarah kubur itu akan
mengingatkan pada hari akhirat.”
Dan
dari jalan Abu Dâud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh Imam Al-Baihaqy
(4/77), Imam An-Nasâ`i (1/285-286 dan 2/329-330), dan Imam Ahmad (5/350,
355-356 dan 361).
Kedua , hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, yang semakna dengan
hadits Buraidah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/38,63 dan 66), Al-Hâkim
(1/374-375), dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hâkim.
Ketiga , hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, yang juga semakna
dengan hadits Buraidah dikeluarkan oleh Al-Hâkim (1/376).
Adapun
ijma’ diriwayatkan (dihikayatkan) oleh:
•
Al-‘Abdary
sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam kitab Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/285).
•
Al-Imam
Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah
Al-Maqdasy Al-Hambaly (541-620 H) dalam kitab Al-Mughny (3/517).
•
Al-Hâzimy
sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syaukâny dalam kitab Nailul Authâr (4/119).
Batasan Disyari’atkannya Ziarah
Kubur
Syariat
yang telah disebutkan di atas tentang ziarah kubur adalah disunnahkan bagi
laki-laki berdasarkan dalil-dalil dari hadits-hadits maupun hikayat ijma’
tersebut di atas. Adapun bagi wanita, maka hukumnya adalah mubah (boleh), makruh bahkan
sampai kepada haram bagi sebagian wanita.
Perbedaan
hukum antara laki-laki dan wanita dalam masalah ziarah kubur ini disebabkan
oleh adanya hadits yang menunjukkan larangan ziarah kubur bagi wanita,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ
زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ
“Dari Abu Hurairah radhiyallâhu
‘anhu dia berkata, ‘ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat
wanita-wanita peziarah kubur.’.”
Hadits
ini diriwayatkan Ibnu Hibbân di dalam Shahîh -nya sebagaimana dalam Al-Ihsân
no. 3178, dan mempunyai syawahid
(pendukung-pendukung) yang diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat, di
antaranya,
•
Hadits
Hassan bin Tsabit, dikeluarkan oleh Ahmad 3/242, Ibnu Abi Syaibah 4/141, Ibnu
Mâjah 1/478, Al-Hâkim 1/374, Al-Baihaqy dan Al-Bushîry di dalam kitabnya Az-Zawâ`id
dan dia berkata isnad-nya shahih dan rijal-nya tsiqah.
•
Hadits
Ibnu ‘Abbâs, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ashhâbus Sunan Al-Arba’ah (Abu Dâud, An-Nasâ`i, At-Tirmidzy dan
Ibnu Mâjah), Ibnu Hibbân, Al-Hâkim dan Al-Baihaqy.
Catatan
Hadits
dengan lafazh seperti di atas ( زَائِرَاتِ
) menunjukkan pengharaman ziarah kubur bagi wanita secara umum tanpa ada
pengecualian, akan tetapi ada lafazh lain dari hadits ini, yaitu,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ زُوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ. وَ فِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ
اللهُ
“ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam ) dalam lafazh yang
lain Allah Subhânahu wa Ta’âlâ) melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah
kubur.”
Lafazh
زُوَّارَاتِ (wanita yang banyak
berziarah) menjadi dalil bagi sebagian ulama untuk menunjukkan bahwa berziarah
kubur bagi wanita tidaklah terlarang secara mutlak (haram) akan tetapi
terlarang bagi wanita untuk sering melakukan ziarah kubur.
Sebagian dari Perkataan Para Ulama
Tentang Ziarah Kubur bagi Wanita
Yang
melarang, di antaranya:
•
Berkata
Imam An-Nawawy Asy-Syâfi’iy , “Nash-nash Imam Asy-Syâfi’iy dan Al-Ashhâb (pengikut Madzhab Syâfi’iyyah)
telah sepakat bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki.” (
Al-Majmu’ 5/285).
Kata
disunnahkan bagi laki-laki mempunyai
pengertian bahwa bagi wanita tidak disunnahkan.
•
Berkata
Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudâmah Al-Maqdasy Al-Hambaly , “Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan di kalangan Ahlul ‘Ilmi
tentang bolehnya laki-laki berziarah kubur.” Lihat Al-Mughny 3/517.
Kata
bolehnya laki-laki berziarah kubur
memiliki pengertian bahwa bagi wanita belum tentu boleh atau tidak boleh sama
sekali.
•
Berkata
Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Mâlikiy, yang terkenal dengan nama
kunyahnya “Ibnul Hâjj” , “Dan seharusnya (selayaknya), baginya (laki-laki),
melarang wanita-wanita keluar ke kuburan, meskipun wanita-wanita tersebut
memiliki mayat (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan
bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah.” Lihat Madkhal
As-Syar‘u Asy-syarîf 1/250.
•
Berkata
Abu An-Najâ Musa bin Ahmad Al-Maqdasy Al-Hambaly (pengarang Zâdul
Mustaqni’ ) , “Disunnahkan ziarah kubur kecuali bagi wanita.” Lihat Hâsyiah
Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zâdul Mustaqni’ 3/144-145.
•
Berkata
Al-Imam Mar’iy bin Yûsuf Al-Karmy , “Dan disunnahkan berziarah kubur bagi
laki-laki dan dibenci (makruh) bagi wanita.” Lihat Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl
1/235.
•
Berkata
Syaikh Ibrâhim Dhuwaiyyân , “Minimal hukumnya adalah makruh.”
•
Berkata
Syaikh Dr. Shâleh bin Fauzân Al-Fauzân , “Dan ziarah itu disyariatkan bagi
laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur.” Lihat Al-Muntaqâ
Min Fatâwâ Syaikh Shâlih Al-Fauzân .
Yang
membolehkan, di antaranya:
•
Imam
Al-Bukhâry, bahwa beliau meriwayatkan hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis.
Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam berkata padanya, ‘ Bertaqwalah engkau kepada Allah dan
bersabarlah.’ Maka berkata wanita itu, ‘ Menjauhlah dariku, engkau belum pernah
tertimpa musibah seperti yang menimpaku,’ dan wanita itu belum mengenal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, ketika itu ditimpa perasaan
seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah-ed.). Kemudian wanita itu
mendatangi pintu (rumah) Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam dan dia tidak menemukan penjaga-penjaga pintu
maka wanita itu berkata, ‘ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu)
belum mengenalmu, maka Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam berkata, ‘ Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu
adalah ketika (bersabar) pada pukulan (benturan) pertama.’.”
Al-Bukhâry
memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah
kubur” yang menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan
wanita dalam berziarah kubur. Lihat Shahîh Al-Bukhâry 3/110-116.
•
Al-Imam
Al-Hâfizh Ibnu Hajar Al-Asqâlany menerangkan hadits di atas dalam Fathul
Bâry , “Dan letak pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam tidak
mengingkari duduknya (keberadaan) wanita tersebut di kuburan. Dan taqrir (pembolehan) Nabi adalah hujjah.”
•
Berkata
Al-‘Ainy, “Dan pada hadits ini terdapat petunjuk tentang bolehnya berziarah
kubur secara mutlak, baik peziarahnya laki-laki maupun wanita dan yang
diziarahi (penghuni kubur) muslim atau kafir karena tidak adanya pembedaan
padanya.” Lihat ‘ Umdatul Qâry 3/76.
•
Al-Imam
Al-Qurthuby berkata, “Laknat yang disebutkan di dalam hadits (tersebut) adalah
bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan
mub alaghah (berlebih-lebihan). Dan
sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak
suami dan berhias diri dan akan munculnya teriakan, erangan, raungan dan
semisalnya. Dan dikatakan jika semua hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak
ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita, sebab
mengingat mati diperlukan oleh laki-laki maupun wanita.” Lihat Jâmi’
Ahkâmul Qur`ân .
•
Berkata
Al-Imam Asy-Syaukâny, “Dan perkataan (pendapat) ini adalah yang pantas untuk
pegangan dalam mengkompromikan antara hadits-hadits bab yang saling
bertentangan pada lahirnya.” Lihat Nailul Authâr 4/121.
•
Berkata
Syaikh Muhammad Nâshiruddin Al-Albâny, “Dan wanita (sama) seperti laki-laki
dalam hal disunnahkannya berziarah kubur.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan empat alasan yang sangat kuat dalam
menunjukkan hal tersebut di atas. Setelah itu, beliau berkata, “Akan tetapi
tidak dibolehkan bagi mereka (para wanita) untuk memperbanyak ziarah kubur dan
bolak-balik ke kuburan sebab hal ini akan membawa mereka untuk melakukan
penyelisihan terhadap syariat seperti meraung, memamerkan perhiasan/kecantikan,
menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan menghabiskan waktu dengan obrolan
kosong (tidak berguna), sebagaimana terlihatnya hal tersebut dewasa ini pada
sebagian negeri-negeri Islam, dan inilah maksud, Insya Allah, dari hadits
masyhur,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (وَفِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ) زَوَّارَاتِ
الْقُبُوْرِ
“Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam melaknat (dalam sebuah lafadz Allah melaknat) wanita-wanita
yang banyak berziarah kubur.” ( Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan
Ibnu Mâjah no. 1574, Musnad Ahmad 2/8430, 8655)
Lihat
Ahkâmul
Janâiz 229-237karya Syaikh Al-Albâny.
Kesimpulan Penulis
Wanita
tidak dianjurkan untuk berziarah kubur, karena ditakutkan akan terjadi padanya
hal-hal yang bertentangan dengan syari’at disebabkan karena kelemahan hati
wanita dan karena perbuatannya, seperti akan terjadinya teriakan atau raungan
ketika menangis/sedih, tabarruj (berhias),
ikhtilâth (bercampur baur dengan
laki-laki) dan hal-hal lain yang sejenis. Itulah sebabnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat
wanita-wanita yang sering melakukan ziarah kubur karena banyaknya (seringnya)
berziarah kubur tersebut akan mengantarkannya kepada penyelisihan/penyelewengan
terhadap syari’at. Akan tetapi jika seorang wanita kebetulan melewati kuburan
atau berada di kuburan karena kebetulan (tanpa sengaja) seperti yang terjadi
pada ‘Âisyah radhiyallahu ‘anha ketika
mengikuti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wa âlihi wa sallam ke pekuburan Baqî’, maka pada waktu itu keadannya
seperti laki-laki dalam hal bolehnya wanita tersebut berziarah, dengan memberi
salam dan mendoakan para penghuni kubur.
Berkata
Syaikh Ibrâhim Duwaiyyân, “Jika seorang wanita yang sedang berjalan melewati
suatu kuburan di jalannya dia memberi salam dan mendoakan penghuni kubur
(mayat) maka hal ini baik (tidak mengapa) sebab wanita tersebut tidak sengaja
keluar untuk ke pekuburan.” Lihat Manâr As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl .
Wallâhu A’lam Bish Shawab .
Hikmah dilarangnya para wanita
memperbanyak (sering) berziarah
Di
antara hikmah tersebut:
•
Karena
ziarah dapat membawa kepada penyelewengan hak-hak suami akan keluarnya para
wanita dengan berhias lalu dilihat orang lain dan tak jarang ziarah tersebut
disertai dengan raungan ketika menangis. Hal ini disebutkan oleh Imam
Asy-Syaukâny dalam Nailul Authâr 4/121.
•
Karena
para wanita memiliki kelemahan/kelembekan dan tidak memiliki kesabaran maka
ditakutkan ziarah mereka akan mengantarkan kepada perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan yang akan mengeluarkan mereka dari keadaan sabar yang
wajib. Hal ini disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassâm dalam Taudhîhul
Ahkâm 2/563-564.
•
Sebab
wanita sedikit kesabarannya, maka dia tidaklah aman dari gejolak kesedihannya
ketika melihat kuburan orang-orang yang dicintainya, dan ini akan membawa dia
pada perbuatan-perbuatan yang tidak halal baginya, berbeda dengan laki-laki.
Disebutkan oleh Syaikh Ibrâhim Duwaiyyân menukil dari Al-Kâfi . Lihat Manâr
As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl 1/236.
•
Berkata
Imam Ibnul Hâjj rahimahullah setelah
menyebutkan 3 pendapat ulama tentang boleh tidaknya berziarah kubur bagi
wanita, “Dan ketahuilah bahwa perselisihan pendapat para ‘ulama yang telah
disebutkan adalah dengan kondisi wanita pada waktu itu (zamannya para ‘ulama
salaf sebelum Ibnul Hâjj yang wafat pada thn 732 H), maka mereka sebagaimana
diketahui dari kebiasaan mereka yang mengikuti sunnah, sebagaimana telah lalu
(tentang hal itu). Adapun keluarnya mereka (para wanita untuk berziarah) pada
zaman ini (zaman Ibnul Hâjj), maka kami berlindung kepada Allah dari
kemungkinan adanya seorang dari ‘ulama atau dari kalangan orang-orang yang
memiliki muru`ah (kehormatan dan
harga diri) atau cemburu (kepedulian) terhadap agamanya yang akan membolehkan
hal ini. Jika terjadi keadaan darurat (yang mendesak) baginya untuk keluar maka
hendaknya berdasarkan hal-hal yang telah diketahui dalam syari’at berupa
menutup aurat sebagaimana yang telah lalu (pembahasannya) bukan sebagaimana
adat mereka yang tercela pada masa ini. Lihatlah, mudah-mudahan Allah Subhânahu Wa Ta’âla merahmati kami dan
merahmatimu. Lihatlah mafsadah
(kerusakan) ini yang telah dilemparkan oleh syaithan kepada sebagian mereka
(para wanita) di dalam membangun (menyusun) tingkatan-tingkatan kerusakan ini
di kuburan.” ( Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif 1/251)
JAWABAN KEDUA: Adakah Waktu-Waktu Tertentu (Khusus) Untuk Berziarah?
Ziarah Kubur dapat dilakukan kapan
saja, tidak ada waktu yang khusus dan tidak boleh (tidak layak) dikhususkan
untuk itu, baik pada bulan Sya’ban, Syawal maupun waktu-waktu yang lainnya. Hal
ini karena tidak adanya dalil yang menunjukkan tentang adanya waktu khusus atau
afdhal (paling baik) untuk berziarah kubur.
Ketika
Syaikh Dr. Shâleh bin Fauzân Al-Fauzân ditanya tentang waktu/hari yang afdhal untuk berziarah, beliau berkata,
“Tidak ada waktu khusus dan tidak ada waktu tertentu untuk berziarah kubur.” Lihat
Al-Muntaqâ
min Fatâwâ Syaikh Shâlih Al-Fauzân 2/166.
JAWABAN KETIGA Faidah Ziarah Kubur
Bagi yang Berziarah
Faidah
yang bisa dipetik dan hasil yang akan didapatkan oleh orang yang berziarah
kubur, antara lain :
•
Memberikan
nasihat bagi dirinya.
•
Mengingatkannya
kepada kematian, balasan dan hari kiamat.
•
Menambahkan
kebaikan baginya.
•
Mengambil
pelajaran.
•
Melunakkan
(melembutkan) hati.
•
Menjadikannya
zuhud terhadap dunia dan tamak terhadap kebaikan hari akhirat.
Semua
hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam ,
إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ
وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَاخَيْرًا
“Sesungguhnya aku pernah melarang
kalian dari berziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kubur sebab ziarah itu
akan mengingatkan kalian terhadap hari akhirat dan akan menambah kebaikan pada
diri kalian.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Buraidah bin Al-Hushaib (5/350, 355,
356 dan 361).
Dalam
riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu
‘anhu ,
فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً
“Sesungguhnya pada ziarah itu
terdapat pelajaran”.
Diriwayatkan
oleh Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hâkim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari
jalan Al-Hâkim.
Dalam
riwayat yang lain dari Anas bin Mâlik radhiyallahu
‘anhu ,
فَإِنَّهَا يُرِقُّ الْقَلْبَ
وَتَدْمَعُ الْعَيْنُ وَتُذِكَّرُ الْآخِرَةَ
“Sesungguhnya ziarah itu akan
melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” Diriwayatkan oleh Al-Hâkim (1/376).
Bagi Penghuni Kubur
Penghuni
kubur akan mendapatkan manfaat dari ziarah kubur dengan adanya salam yang
ditujukan padanya yang berisi permohonan keselamatan, ampunan dan rahmat
baginya. Semua hal ini hanya bisa didapatkan oleh seorang muslim. (Disebutkan
oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ahkâmul Janâiz 239)
Berkata
Ibnul Qayyim rahimahullâh ,
“Pasal:
Tentang Petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa âlihi wa sallam dalam ziarah kubur: Adalah beliau shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam jika menziarahi kubur para
shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendoakan mereka dan memintakan rahmat
dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi
ummatnya dan beliau syariatkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika
menziarahi kuburan untuk mengatakan ,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni
rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah
merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan,
dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah
keselamatan bagi kami dan bagi kalian.” (Disebutkan dalam Zâdul Ma’âd karya Ibnul Qayyim)
JAWABAN KEEMPAT : Tata Cara Ziarah Kubur
Yang
dilakukan oleh seorang peziarah adalah:
•
Memberi
salam kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka.
Diantara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam kepada umatnya yang berziarah kubur ,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni
rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah
merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan,
dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami memohon kepada Allah keselamatan
bagi kami dan bagi kalian.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim 975, An-Nasâ`i 4/94, Ahmad
5/353, 359, 360.
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلَ الدِّيَارِ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنِ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Keselamatan atas penghuni kubur
dari kaum mu’minin dan muslimin mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang
terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami Insya Allah akan
menyusul kalian.”
•
Tidak
berjalan di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits
Basyir bin Khashashiah ,
بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ إِذْ حَانَتْ
مِنْهُ نَظَرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلاَنِ
فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ
فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ
نَعْلَيْهِ فَرَمَى بِهِمَا
“Ketika Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau memandang seorang
laki-laki yang berjalan di antara kubur dengan mengenakan sandal, maka
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda , ‘Wahai pemilik
(yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah sandalmu. ’ Maka orang itu
memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa
sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan melemparkannya.” Diriwayatkan oleh Abu Dâud 2/72,
An-Nasâ`i 1/288, Ibnu Mâjah 1/474, Al-Hâkim 1/373 dan dia berkata , “Sanadnya
shahih,” dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al- Hâfizh
Ibnu Hajar ( Fathul Bâry 3/160).
Berkata
Al- Hâfizh Ibnu Hajar , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara
kuburan dengan sandal.” ( Fathul Bâry 3/160). Berkata Syaikh
Al-Albâny , “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di atas kuburan dengan
memakai sandal.” Lihat Ahkâmul Janâiz 252.
•
Tidak
duduk atau bersandar pada kuburan.
Hal
ini berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallâhu
‘anhu dari Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa âlihi wa sallam ,
لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ
وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan
dan jangan melakukan shalat padanya.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim 2/228.
Dan
hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda ,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحُدُكُمْ عَلَى
جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Seandainya salah seorang dari
kalian duduk di atas bara
api hingga (bara api itu) membakar pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu
adalah lebih baik daripada dia duduk di atas
kuburan.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
•
Dibolehkan
bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdoa untuk penghuni kubur,
berdasarkan hadits ‘Âisyah radhiyallâhu
‘anhâ ,
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Âisyah) mengutus Barîrah
untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah
mengambil jalan ke arah Baqî’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang
terdekat dari Baqî’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau
pulang, maka kembalilah Barîrah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya).
Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah keluar kemana
engkau semalam? ’ Beliau berkata, ‘Aku diutus kepada penghuni Baqî’ untuk
mendoakan mereka ’ .”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya
(
Al-Muwaththa` (1/239-240)).
•
Berkata
‘Abdullah Al-Bassâm , “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada di pekuburan,
baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam
keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta,
seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut di hadapan
keluarga mayat.” Lihat Taudhîhul Ahkâm 2/564.
•
Menghadap
ke kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur.
Hal
ini diambil dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada
penghuni kubur.
•
Ketika
mendoakan penghuni kubur tidak menghadap ke kuburan melainkan menghadap kiblat.
Sebab Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi
wa sallam melarang umatnya shalat menghadap kubur dan karena doa adalah
intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam ,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.”
Diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Mâjah (2/428-429).
Macam-macam Ziarah Kubur dan Hal-hal
yang diharamkan dalam dalam Ziarah Kubur.
Hal
ini telah disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassâm dalam Taudhîhul
Ahkâm (2/562-563), bahwa keadaan seorang yang berziarah ada empat
jenis, yaitu:
•
Mendoakan
para penghuni kubur dengan cara memohon kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla pengampunan dan rahmat bagi para penghuni
kubur, dan memohonkan doa khusus bagi yang dia ziarahi dan pengampunan.
Mengambil pelajaran dari keadaan orang mati sehingga bisa menjadi peringatan
dan nasihat baginya. Inilah bentuk ziarah yang syar’i.
•
Berdoa
kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla bagi
dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang dicintainya di pekuburan atau di
dekat sebuah kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa berdoa di pekuburan atau
pada kuburan seseorang tertentu afdhal (lebih utama) dan lebih mustajab
daripada berdoa di masjid. Dan ini adalah bid’ah munkarah, haram hukumnya.
•
Berdoa
kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla
dengan mengambil perantara jâh
(kedudukan) penghuni kubur atau haknya, melalui perkataan , “Aku memohon
pada-Mu, wahai Rabbku , berikanlah …(sesuatu)… dengan jâh (kedudukan) penghuni kuburan ini atau dengan haknya
terhadap-Mu, atau dengan kedudukannya disisi-Mu,” atau yang semisalnya. Dan ini
adalah bid’ah muharramah dan haram
hukumnya, sebab perbuatan tersebut adalah sarana/jalan yang mengantar kepada
kesyirikan kepada Allah Subhânahu wa
Ta’âla .
•
Tidak
berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla
melainkan berdoa kepada para penghuni kubur atau kepada penghuni kubur
tertentu, melalui perkataan , “Wahai wali Allah, wahai nabi Allah, wahai tuanku,
cukupilah aku atau berilah aku …(sesuatu) …,” dan semisalnya. Dan ini adalah
syirik Akbar (besar).
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâhu
Ta’âla dalam kitabnya, Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal. 56-57,
ketika menyebutkan tingkatan bid’ah yang berhubungan dengan ziarah kubur,
“Bid’ahnya bertingkat-tingkat:
Tingkatan Pertama (yang paling jauh dari syariat) ,
dia (penziarah) meminta hajatnya pada mayat atau dia beristighatsah (meminta
tolong ketika terjepit/susah) padanya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan
orang terhadap kebanyakan penghuni kubur. Dan ini adalah termasuk jenis
peribadahan kepada berhala.
Tingkatan kedua , dia (penziarah) meyakini bahwa
berdoa di sisi kuburnya mustajab atau bahwa doa tersebut afdhal (lebih baik)
daripada berdoa di masjid-masjid dan di rumah-rumah. Dan dia maksudkan ziarah
kuburnya untuk hal itu (berdoa di sisi kuburan), atau untuk shalat di sisinya
atau untuk tujuan meminta hajat-hajatnya padanya. Dan ini juga termasuk
kemungkaran-kemungkaran yang baru berdasarkan kesepakatan imam-imam kaum
muslimin. Dan ziarah tersebut haram. Dan saya tidak mengetahui adanya
pertentangan pendapat di kalangan imam agama ini tentang masalah ini.
Tingkatan ketiga , dia (penziarah) meminta kepada
penghuni kubur agar memintakan (hajat) baginya kepada Allah. Dan ini adalah
bid’ah berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin.
JAWABAN KELIMA : Hal-Hal yang Diharamkan/Bid’ah-Bid’ah Ziarah Kubur
•
Kesyirikan.
Syirik
Akbar (besar) sering terjadi dan dilakukan oleh sebagian orang di kuburan.
Batasan syirik besar (Asy-Syirkul Akbar)
itu sendiri adalah jika seseorang memalingkan satu jenis atau satu bentuk dari
jenis-jenis/bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah Subhânahu wa Ta’âla . Segala i’tiqâd
(keyakinan), perkataan atau perbuatan yang telah tsabit (kuat) bahwa itu adalah diperintahkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla , maka
memalingkannya kepada selain Allah Subhânahu
wa Ta’âla adalah kesyirikan dan kekufuran ( Al-Qaul As-Sadid Syarh kitâb
At-Tauhid hal. 48 karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nâshir As-Sa’dy).
Syirik
Akbar (besar) yang mungkin sering terjadi di kuburan adalah:
•
Menyembelih untuk penghuni kubur,
•
Menunaikan nadzar kepadanya,
•
Memberikan persembahan kepada
penghuni kubur yang disertai dengan keyakinan dan perasaan cinta dan atau
berharap dan atau takut terhadap penghuni kubur,
•
Bertawakkal kepadanya,
•
Berdoa kepadanya,
•
Meminta pertolongan untuk
mendapatkan kebaikan (isti’ânah) atau
untuk lepas dari kesulitan (istighatsah) pada penghuni kubur,
•
Thawaf pada kuburan, dan
•
Ibadah lainnya yang ditujukan untuk
penghuni kubur.
Semua
hal tersebut di atas adalah syirik besar dan mengakibatkan batalnya seluruh
amalan. Allah Subhânahu wa Ta’âla
berfirman, setelah menyebutkan tentang para nabi dan rasul-Nya,
“Itulah petunjuk Allah, yang
dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah
dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [ Al-An’âm: 88 ]
Tidak
ada seorang pun yang beramal seperti amalannya para nabi dan rasul, sebab
merekalah orang-orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takwa
kepada-Nya, tetapi Allah Subhânahu wa
Ta’âla tetap menyatakan bahwa seandainya mereka berbuat kesyirikan, maka
akan sirna/lenyap semua apa yang mereka kerjakan. Seperti juga firman Allah Subhânahu wa Ta’âla yang lainnya,
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang
yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [ Az-Zumar: 65-66 ]
Dan
ayat-ayat di atas menggambarkan tentang betapa berbahayanya syirik tersebut dan
betapa sesatnya manusia jika terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut. Sebagaimana
firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [ An-Nisâ`: 48 ]
dan
firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain
dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya.” [ An-Nisâ`: 116 ]
dan
firman Allah Subhânahu wa Ta’âla ,
“Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘ Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar. ’ .” [ Luqman: 13 ]
•
Duduk di atas kuburan, sebagaimana
penjelasan yang lalu dalam tata cara ziarah kubur.
•
Shalat menghadap kuburan.
Point
2 dan 3 berdasarkan sabda Nabi shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ
وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap
kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/62
dari hadits Abi Martsad Al-Ghanawy.
•
Shalat di kuburan, meskipun tidak menghadap
padanya,
berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ
الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi ini semuanya adalah masjid
(tempat shalat) kecuali pekuburan dan kamar mandi.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no.
317, Ibnu Mâjah 1/246 no. 745, Ibnu Hibbân 8/92 no. 2321.
Dan
hadits Anas bin Mâlik,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُوْرِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân 4/596
no. 1698.
Dan
Hadits Ibnu ‘Umar,
اِجْعَلُوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ
صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
“Lakukanlah di rumah-rumah kalian
sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan.” H.R. Bukhâry no. 422.
Maksudnya
bahwa kuburan tidaklah boleh dijadikan tempat shalat sebagaimana rumah yang
dianjurkan untuk dilakukan sebagian shalat padanya (shalat-shalat sunnah bagi
laki-laki).
Dan
hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ
مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ
سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari
rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no.
780.
•
Menjadikan kuburan sebagai tempat
peringatan, dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan pada musim-musim tertentu
untuk beribadah di sisinya atau untuk selainnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah
bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا
وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْراً وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ
“Janganlah kalian menjadikan
kuburanku sebagai tempat peringatan dan janganlah menjadikan rumah kalian
sebagai kuburan dan dimanapun kalian berada bershalawatlah kepadaku sebab
shalawat kalian akan sampai kepadaku.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/367, Abu Dâud no. 2042 (
Ahkâmul Janâ`iz dan Min Bida’il Qubûr )
•
Melakukan perjalanan (bersafar)
dengan maksud hanya untuk berziarah kubur, berdasarkan hadits Abu Hurairah dari
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa
sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى
ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيْ
وَمُسْلِمٌ وَلَفْظُهُ ” إِنَّمَا يُسَافَرَ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ
الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِيْ وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan
perjalanan (untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Al-Masjidil Haram , masjid Ar-Rasul dan masjid Al-Aqshâ”. Dikeluarkan oleh Imam
Bukhâry dan Muslim dengan lafazh, “Safar
itu hanyalah kepada tiga masjid (yaitu) masjid Al-Ka’bah, Masjidku dan Masjid
Iliyâ`.”
Juga
hadits Abu Sa’id Al-Khudry dari Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ وَفِيْ لَفْظٍ : لاَ
تَشُدًّوْا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِيْ هَذَا
وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقُصَى. أَخْرَجَهُ الشَّيْخَانِ
وَاللَّفْظُ الْآخَرُ لِمُسْلِمٍ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan
perjalanan -dan dalam sebuah riwayat: janganlah kalian melakukan perjalanan-
(untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku (Masjid Nabawy), Masjidil
Haram dan masjid Al-Aqshâ.” Muttafaqun ‘alaihi .
•
Menyalakan lampu (pelita) pada
kuburan, karena perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh
para salafus shalih, merupakan
pemborosan harta, dan menyerupai Majûsi
(para penyembah api) ( Ahkâmul Janâ`iz
hal. 294).
•
Membaca Al-Qur`ân di kuburan.
Membaca
Al-Qur`ân di pekuburan adalah suatu bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam.
Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam adalah berziarah dan mendoakan mereka, bukan
membaca Al-Qur`ân.
Dan
hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ
مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ
سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari
rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no.
780.
Pada
hadits ini terkandung pengertian bahwa Nabi shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam memerintahkan umatnya membaca Al-Qur`ân di
rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat
membaca Al-Qur`ân), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithân
akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah.
Dan
sebelumnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai
kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat
tersebut), maka mafhûm (dipahami)
dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan
untuk membaca Al-Qur`ân, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`ân padanya.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “ Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad
tentang makruhnya membaca Al-Qur`ân dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad)
yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorang pun dari ulama
yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`ân di kuburan afdhal (lebih
baik). Dan menyimpan mashâhif
(kitab-kitab Al-Qur`ân) di kuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan
membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.” ( Min Bida’il Qubûr hal.
59).
•
Mengeraskan suara di kuburan.
Berkata
Qais bin Abbâd, “Adalah shahabat-shahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam menyukai merendahkan suara
dalam tiga perkara: dalam penerangan, ketika membaca Al-Qur`ân dan ketika di
dekat jenazah-jenazah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 11201. ( Min
Bida’il Qubûr hal. 88).
Catatan:
Untuk
no.10 dan seterusnya akan disebutkan saja bentuk bid’ahnya dengan menunjuk
rujukannya kalau ada. Adapun yang tidak disebutkan rujukannya, maka ia masuk ke
dalam perkara-perkara bid’ah secara umum karena tidak dicontohkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
maupun para shahabatnya walaupun sebab untuk melakukannya ada. Hal ini
dilakukan agar tulisan ini tidak menjadi terlalu panjang. Wallâhul Musta’ân.
•
Memasang payung (lihat Min Bida’il Qubûr hal. 93-94).
•
Menanaminya dengan pohon dan
kembang.
•
Menyiraminya dengan air
•
Menaburkan kembang padanya.
•
Berziarah kubur setelah hari ke-3 dari
kematian dan berziarah pada setiap akhir pekan kemudian pada hari ke-15,
kemudian pada hari ke-40 dan sebagian orang hanya melakukannya pada hari ke-15
dan hari ke-40 saja ( Ahkâmul Janâ`iz
).
•
Menziarahi kuburan kedua orang tua
setiap hari Jum’at ( Ahkâmul Janâ`iz
).
•
Keyakinan sebagian orang yang
menyatakan bahwa mayat, jika tidak diziarahi pada malam Jum’at, dia akan
tinggal dengan hati yang hancur di antara mayat-mayat lainnya dan bahwa mayat
itu dapat melihat orang-orang yang menziarahi ketika mereka keluar dari batas
kota ( Al-Madkhal 3/277).
•
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari
‘Âsyûra` ( Al-Madkhal 1/290).
•
Mengkhususkan ziarah pada malam
Nisfu Sya’bân ( Al-Madkhal 1/310, Talbis Iblis hal. 429).
•
Bepergian ke pekuburan pada 2 hari
raya ‘Ied (‘Iedhul Fithri dan ‘Iedhul Adha) ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
•
Bepergian ke pekuburan pada bulan
Rajab, Sya’bân dan Ramadhân ( Ahkâmul
Janâ`iz hal.325).
•
Mengkhususkan berziarah kubur pada
hari Senin dan Kamis ( Ahkâmul Janâ`iz
hal.325).
•
Berdiri dan diam sejenak dengan
sangat khusyu’ di depan pintu pekuburan seakan-akan meminta izin untuk masuk,
kemudian setelah itu baru masuk ke pekuburan ( Ahkâmul Janâ`iz hal.325).
•
Berdiri di depan kubur sambil
meletakkan kedua tangan seperti seorang yang sedang shalat, kemudian duduk di
sebelahnya ( Ahkâmul Janâ`iz hal.
325).
•
Bertayammum untuk berziarah kubur ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 325).
•
Membacakan surah Al-Fatihah untuk
para mayit ( Ahkâmul Janâ`iz hal.
325).
•
Membaca doa,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ
بِحُرْمَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تُعَذِّبَ
هَذَا الْمَيِّتَ
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
dengan (perantara) kehormatan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
agar Engkau tidak menyiksa mayat ini.” ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 326).
•
Menamakan ziarah terhadap kuburan
tertentu sebagai haji ( Ahkâmul Janâ`iz
).
•
Mengirimkan salam kepada para nabi
melalui orang yang menziarahi kuburan mereka ( Ahkâmul Janâ`iz hal. 327).
•
Mengirimkan surat dan foto-foto
kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi
wa sallam melalui orang yang berziarah ke Masjid Nabawy. Hal ini sering
terjadi/dialami.
•
Berziarah ke kuburan pahlawan tak
dikenal ( Ahkâmul Janâ`iz 327).
•
Perkataan bahwa doa akan mustajab
jika dibaca di dekat kuburan orang-orang shalih ( Ahkâmul Janâ`iz ).
•
Memukul beduk, gendang dan menari di
sisi kuburan Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam dalam rangka pendekatan diri kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla ( Al-Madkhal
4/246).
•
Meletakkan mushaf di kuburan bagi
orang-orang yang bermaksud membaca Al-Qur`ân ( Al-Fatâwâ 1/174).
•
Melemparkan sapu tangan dan pakaian
ke kuburan dengan tujuan tabarruk
(mencari berkah) ( Al-Madkhal 1/263).
•
Berlama-lamanya seorang wanita pada
sebuah kuburan dan menggosok-gosokkan kemaluannya pada kuburan dengan tujuan
supaya ia bisa hamil ( Ahkâmul Janâ`iz
hal. 330).
•
Mengusap-usap kuburan dan menciumnya
( Iqtidhâ` Ash-Shirâthal Mustaqîm karya
Ibnu Taimiyah, Al-I’tishâm karya
Asy-Syâthiby).
•
Menempelkan perut dan punggung atau
sesuatu dari anggota badan pada tembok kuburan ( Ziyâratul Qubûr Wal Istinjâd Bil Maqbûr hal. 54 oleh Ibnu
Taimiyah).
•
Berziarah ke kubur para nabi dan
orang-orang shalih dengan maksud untuk berdoa di sisi kuburan mereka dengan
harapan terkabulnya doa tersebut (
Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal. 27-57).
•
Keluar dari kuburan (pekuburan) yang
diagungkan dengan cara berjalan mundur (
Al-Madkhal 4/238).
•
Berdiri lama di kuburan Nabi untuk
mendoakan dirinya sendiri sambil menghadap ke kuburan ( Ar-Raddu ‘Alal Bakry /
Ahkâmul Janâ`iz hal. 335).
Masih
banyak lagi bentuk-bentuk amalan/perbuatan yang dilakukan ketika berziarah
kubur yang menyelisihi cara berziarah yang syar’i, yang semua bentuk-bentuk
tersebut adalah bid’ah di dalam agama ini yang telah dinyatakan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
bahwa setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. Na’ûdzu billâhi minhâ. Wallâhu Ta’âla A’lam Bishshawab.
Maraji’
•
Ahkâmul
Janâ`iz Wa Bid’auhâ
/ Syaikh Al-Imam Muhammad Nâshirudddin Al-Albâny.
•
Al-I’tishâm / Al-Imam Asy-Syâthiby.
•
Al-Majmû’
Syarh Al-Muhadzdzab
/ Al-Imam An-Nawawy.
•
Al-Mughny / Ibnu Qudâmah.
•
Al-Muntaqâ
Min Fatâwâ Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân .
•
Ash-Shârimul
Munky Fî Ar-Raddi ‘ Ala As-Subky / Muhammad bin Abdul Hâdy.
•
Hâsyiah
Ar-Raudhah Murbi’ Syarh Zâdul Mustaqni’ / ‘Abdurrahman bin Muhammad bin
Qasim An-Najdy.
•
Iqtidhâ`
Ash-Shirâthal Mustaqîm Fî Mukhâlafatu Ashhâbul Jahîm / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
•
Madkhal
Asy-Syar’u Asy-Syarîf
/ Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Ibnul Hâjj.
•
Majmu’
Al-Fatâwâ /
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
•
Manâr
As-Sabîl Fî Syarh Ad-Dalîl / Syaikh Ibrâhim bin Muhammad Duwaiyyân.
•
Min
Bida’il Qubûr
/ Hamad bin ‘Abdullah bin Ibrâhim Al-Humaidy.
•
Nailul
Authâr Min Ahâditsi Sayyidil Akhyâr / Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukâny.
•
Talbîs
Iblîs
/ Ibnul Jauzy.
•
Talkhîs
Kitâb Al-Istighâtsah (Ar-Raddu ‘Alal Bakry) / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
•
Taudhîhul
Ahkâm /
‘Abdullah Al-Bassâm.
•
Zâdul
Ma’âd Fî Hadyi Khairil ‘Ibâd / Ibnul Qayyim Al-Jauzy.
•
Ziyâratul
Qubûr Wa Hukmul Istinjâd Bil Maqbûr / Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar