Selasa, 04 Juni 2013

BID'AH HAQII DAN BID'AH IDHAFIY

الأصل في العبادات الحظرالا ما ورد عن الشارع تشريعه

al-ashlu fil ‘ibaadati al-hazhru, illaa maa warada ‘anisy syaari’i tasyrii’uhu
“Hukum asal suatu ibadah adalah terlarang, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut disyari’atkan”

Seorang yang pernah belajar ilmu agama, pasti memahami kaidah di atas, khususnya seorang yang belajar kaedah fikih. Berbicara masalah dunia saja membutuhkan ilmu, dan yang berbicara bukanlah sembarang orang, namun harus yang ahli di bidangnya. Terlebih lagi masalah akhirat yang dibicarakan, tentu tidak sembarang orang yang bisa angkat suara.


Sebagian kaum muslimin, ‘alergi’ dengan kata bid’ah. Terkadang mereka langsung antipati jika seorang da’i yang menyampaikan nasehat, dan isi nasehat itu terkait dengan bid’ah. Namun ketahuilah wahai saudara kami seiman, istilah tersebut telah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam gunakan sejak dulu. Beliau bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…berhati-hatilah kalian dengan perkara yang muhdatsat (perkara yang di ada-adakan), karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata, “Hadist Hasan Shahih.”)

Perkara yang muhdats di sini, bukanlah terkait dalam masalah dunia, namun terbatas dalam masalah agama saja. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukiminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru (أَحْدَثَ) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan dari ajarannya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalil lain bahwa ‘kreasi’ (membuat perkara baru) itu hanya boleh dalam masalah dunia saja, bukan masalah agama, berdasarkan sabda Nabi
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi mengatakan ‘urusan dunia kalian’, namun tidak mengatakan ‘hukum urusan dunia kalian’ Karena untuk masalah dunia, Nabi menyerahkan pada umatnya, namun untuk hukum perkara dunia, hanya Nabi lah yang lebih tahu. Misalnya dalam hal memelihara jenggot. Urusan jenggot kenapa bisa tumbuh, manusia lebih tahu akan hal itu. Namun urusan hukum memelihara jenggot, Nabi lah yang lebih tahu.
Apa itu Bid’ah Hakiki dan Bid’ah Idhafiy?

Bid’ah hakiki adalah setiap ibadah yang sama sekali tidak pernah Allah dan Rasul-Nya syari’atkan dalam bentuk apa pun. Seperti bacaan doa-doa, dzikir-dzikir, dan shalawat untuk Nabi, yang sama sekali tidak pernah ada asalnya dari syari’at. Contoh lainnnya adalah adzan yang dilakukan saat shalat ‘idul fithri dan ‘idul adha, adzan pada shalat istisqa (minta hujan). Dan masih banyak lagi, contoh perkara-perkara yang tidak pernah ada tuntunannya yang termasuk di dalam kategori bid’ah hakiki. Termasuk dalam bid’ah hakiki misalnya seseorang yang melakukan sujud ketika hendak keluar masjid setalah melakukan shalat wajib atapun shalat sunnah. Jadi intinya, apabila terdapat suatu amalan yang tidak pernah Allah dan Rasul-Nya tuntunkan, maka hal itu termasuk bid’ah hakiki.

Adapun bid’ah idhafiy adalah bid’ah karena mengubah apa yang telah Allah dan Rasul-Nya syari’atkan. Misalnya dalam dzikir yang dilakukan setelah shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang. Pada asalnya dzikir setelah shalat jama’ah adalah suatu hal yang dituntunkan. Namun tata caranya menyimpang dari ajaran Allah dan Rasuln-Nya, yang seharusnya dilakukan sendiri-sendiri, tapi dilakukan secara bersama-sama. Dalam kasus ini, pengubahan tata cara ibadah yang pada awalnya dituntunkan, termasuk dalam bid’ah idhafiy. Karena di satu sisi dzikir setelah shalat jama’ah adalah sunnah, namun di sisi lain adalah bid’ah jika dilakukan secara berjama’ah.

Dan dalam waktu dekat ini, sebagian kaum muslimin ada yang bersemangat dalam merayakan hari kelahiran Rasulullah, yang disebut dengan maulid Nabi. Namun yang patut disayangkan, apa yang mereka lakukan bukanlah termasuk sunnah. Bahkan suatu ajaran yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah ajarkan. Maka, perhatikanlah kaedah fikih di awal tulisan, apakah perayaan maulid Nabi itu kita anggap suatu ibadah apa bukan? Jika ibadah, apakah ada dalil yang mensyari’atkannya?

Hendaknya setiap muslim semangat dalam menjalankan amalan sunnah, dan berhati-hati dengan amalan yang tidak ada tuntunannya. Benarlah perkataan sebagian salaf,
الاقتصاد في السنة أحسن من الاجتهاد في البدعة
“Sederhana dalam amalan sunnah lebih baik daripada bersemangat dalam melakukan bid’ah”.

Wallahu’alam.

Catatan: Kami banyak mengambil faedah dari kitab Jam’ul Mahshul fii Syarhi Risalati ibni Sa’di fil Ushul hal. 124-126, karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto

Sumber: Muslim.Or.Id'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar